Pengamat Sastra, Tikwan Raya Siregar: Karya A.Yusran Memang Determinatif, Tidak Untuk Semua Kalangan!

Bos com,MEDAN- Kumpulan 13 cerita pendek dengan judul sampul Siksa Dosa di Ujung Usia, karya A. Yusran, telah diluncurkan oleh penerbit Swarnadwipa, sekaligus telah dibedah adalam acara yang digagas Deli Art Community dalam diskusi rutin kebudayaan berlangsung pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 14.00 WIB sampai selesai di ruang lobbi kantor UPT Taman Budaya Sumut. 


Bedah buku itu menghadirkan pembicara yakni Romulus Z.I. Siahaan dan Tikwan Raya Siregar yang dipandu moderator, Haykal Abimayu. 

Sebelum dibedah Eko Satrio dalam pertunjukan dramatical reading memilih sebuah cerpen Di Sepenggal Waktu yang diambil dari salah satu judul cerpen berkisah tentang seorang renta pejalan kaki, bertemu dengan banyak objek yang menggelisahkan seluruh panca inderanya. 


Dalam dialog yang sarat makna antar tokoh dan mahluk yang ditemuinya, lelaki itu dengan sadar menyimpulkan bahwa sejarah manusia belum dimulai. Lelaki itu dengans adar memilih mundur menjadi manusia. Ia ikhlas menjadi bagian dari para binatang yang gagal menggunakan otaknya. 

 

Dalam diskusi tanya jawab, Suyadi San, dari BRIN Sumut mengapresiasi dengan mengataka kumpulan Cerpen dalam Buku Siksa Dosa di Ujung Usia karya A. Yusran adalah sebuah karya besar karena mengangkat sisi kehidupan manusia secara universal, berlaku sepanjang zaman, menukik pada kehidupan yang nyata dan sangat berjiwa.


Romulus yang mengulas ketiga belas Cerpen mengatakan bahwa sebenarnya pengarang tengah menunjukkan isi pikiran, pengamatan bahkan potret pribadi dari pengarang. 


“Apa yang ditulis dalam cerpen-cerpen ini menunjukkan pikiran-pikiran Datuk. Saya rasa karya ini memang sangat berguna bagi generasi mendatang,” katanya. 


Sementara itu, Tikwan Raya yang diketahui seorang pengamat sastra yang sangat kritis dan tajam mengupas sebuah karya, secara detail menjelaskan pemahamannya kepada hadirin yang datang. Bagi Tikwan karya Ali Yusran Datuk Majoindo yang lebih dikenal dengan nama pena A. Yusran ini merupakan sebuah tawaran untuk menemukan “jalan pulang”. 


Memang, katanya kemudian, karya Pak Datuk tidak dimaksudkan tidak untuk semua kalangan. Apalagi untuk generasi milenial yang kurang membaca.   


“Cerpen-cerpen Datuk ini sedikit peminatnya. Karena untuk memahami jalan pikirannya harus banyak membaca. Dan tentu saja harga yang harus dibayar mahal oleh pengarang sendiri ialah dirinya kesepian, karena jalan pikirannya tidak banyak diminati dan dimengerti oleh banyak orang ketika ia hidup, tapi hanya sedikit orang. Begitulah nasib para pemikir biasanya. Ketika dia sudah tiada, suaranya akan lebih keras lantang dari dalam kuburannya,” katanya dengan penuh semangat berbicara di depan hadirin.  


Ia kembali melanjutkan pandangannya, “Datuk tidak sabar dalam menuliskan sebuah ide yang sangat besar hanya dalam wadah yang begitu kecil yakni cerpen. Mengapa tidak novel misalnya? Tapi ya begitulah Datuk. Baginya cerpen dan bentuk-bentuk karya tulis lainnya hanyalah wadah bukan tujuan. 


Datuk juga tidak pernah menulis hanya untuk keisengan. Tulisannya sangat determinatif, cerpen-cerpennya mengabaikan metode sastra kebanyakan, dan kita akan kesulitan jika memakai kaidah teori sastra. Karya ini memang determinatif. Beberapa cerpennya yang sangat dekat dengan gagasan feminisme misalnya, didasarkan melalui dua aspek mendasar yakni kekuasaan dan kenyataan. Dia tidak akan bicara sebuah perlawanan dalam teks, tanpa melihat dua kutup kekuasaan yang bertolak belakang. Secara keseluruhan karya A. Yusran sangat kental dengan paham eksistensialis yang bercorak Timur bukan Barat. Kesemua cerpen hampir rata melabrak batas-bata. Di awal kita kenali cara berpikirnya seperti A misalnya, namun ternyata tidak A, ya ternyata tidak demikian. Karya-karya Datuk berbau tasawuf dengan maqom (tingkatan) yang tinggi,” katanya lagi. 


Pengarang yang terlahir dengan nama Ali Yusran bergelar Datuk Majoindo, kelahiran Bukittinggi, 19 Januari 1940 dan wafat di Medan pada tanggal 30 Maret 2021, meninggalkan lima orang anak dan delapan cucu.  


Zulkifli, anak laki-laki tertuanya dalam sambutan yang penuh haru, mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu terlaksananya acara peluncuran dan bedah buku kumcer Siksa Dosa di Ujung Usia karya orang tuanya. 


“Saya sangat bangga menjadi anak biologis bapak saya, dan masih terus belajar memahami cara bapak saya berpikir. Di mana dalam kenyataan setiap harinya kami tahu bahwa bapak kami itu memang berbeda dari kebanyakan bapak-bapak orang. Dia memang saya akui, gemar berpikir mendalam, pikirannya jernih, tidak terkesan dilandasi kepentingan pribadi, hatinya tulus. Dari penjelasan narasumber dan tanggapan hadirin, saya semakin banyak mengerti jalan pikiran bapak saya selama ini. Sejauh ini ibu sambung sayalah yang saya anggap bisa menerjemahkan pikiran-pikiran bapak saya,” katanya. 


Aishah Bashar, salah seorang sahabat dekat almarhum yang berprofesi sebagai guru dan kepala sekolah di SMAN I Barus, Tapanuli Tengah mengungkapkan, baginya Ali Yusran tidak saja sebagai kawan dalam dunia sastra tapi lebih dari itu. 


“Ali Yusran atau Datuk adalah seorang ayah bagi kami. Ia tempat kami berkeluh kesah dan selalu menerima kami dalam kondisi apa saja. Pikiran-pikirannya luas, orangnya ramah dan sangat cerdas serta begitu peduli. Tenanglah di sana ya Datuk, kami semua menyayangimu,” kata Aishah dengan suara serak menahan air matanya agar tak tumpah. 


Ali Yusran banyak meninggalkan karya tulis. Buku kumpulan cerita pendek ini adalah buku keduanya. Buku pertamanya terangkum dalam buku puisi berjudul Petapa Akhir Abad, Kumpulan 77 puisi yang diluncurkan pada tahun 2016 lalu. Ke depan kumpulan essai kebudayaan dan novel direncanakan untuk diterbitkan. Peluncuran cerpen berjudul Siksa Dosa di Ujung Usia ini dilakukan dalam rangka mengenang setahun kepergian A. Yusran sebagai salah satu pengarang di Sumatera Utara yang juga mengabdikan dirinya bagi gerakan sosial pro demokrasi. 


“Semoga karya-karya karya A. Yusran bisa menyemarakkan dunia sastra dan mendorong berkembangnya gerakan literasi di Sumut dan Indonesia,” harap Dini Usman penuh semangat. 


Bila ada yang berminat membaca buku karya A. Yusran bisa dipesan langsung pada penerbit Swarnadwipa melalui email penerbitswarnadwipa@gmail.com sebagai salah satu penerbit indie di Sumatera Utara.(JN)

            

     

 

 

 Pengamat Sastra, Tikwan Raya Siregar: Karya A.Yusran Memang Determinatif, Tidak untuk Semua Kalangan! 

 

Bos com,MEDAN- Kumpulan 13 cerita pendek dengan judul sampul Siksa Dosa di Ujung Usia, karya A. Yusran, telah diluncurkan oleh penerbit Swarnadwipa, sekaligus telah dibedah adalam acara yang digagas Deli Art Community dalam diskusi rutin kebudayaan berlangsung pada Jumat, 25 Maret 2022, pukul 14.00 WIB sampai selesai di ruang lobbi kantor UPT Taman Budaya Sumut. 


Bedah buku itu menghadirkan pembicara yakni Romulus Z.I. Siahaan dan Tikwan Raya Siregar yang dipandu moderator, Haykal Abimayu. 

Sebelum dibedah Eko Satrio dalam pertunjukan dramatical reading memilih sebuah cerpen Di Sepenggal Waktu yang diambil dari salah satu judul cerpen berkisah tentang seorang renta pejalan kaki, bertemu dengan banyak objek yang menggelisahkan seluruh panca inderanya. 


Dalam dialog yang sarat makna antar tokoh dan mahluk yang ditemuinya, lelaki itu dengan sadar menyimpulkan bahwa sejarah manusia belum dimulai. Lelaki itu dengans adar memilih mundur menjadi manusia. Ia ikhlas menjadi bagian dari para binatang yang gagal menggunakan otaknya. 

 

Dalam diskusi tanya jawab, Suyadi San, dari BRIN Sumut mengapresiasi dengan mengataka kumpulan Cerpen dalam Buku Siksa Dosa di Ujung Usia karya A. Yusran adalah sebuah karya besar karena mengangkat sisi kehidupan manusia secara universal, berlaku sepanjang zaman, menukik pada kehidupan yang nyata dan sangat berjiwa.


Romulus yang mengulas ketiga belas Cerpen mengatakan bahwa sebenarnya pengarang tengah menunjukkan isi pikiran, pengamatan bahkan potret pribadi dari pengarang. 


“Apa yang ditulis dalam cerpen-cerpen ini menunjukkan pikiran-pikiran Datuk. Saya rasa karya ini memang sangat berguna bagi generasi mendatang,” katanya. 


Sementara itu, Tikwan Raya yang diketahui seorang pengamat sastra yang sangat kritis dan tajam mengupas sebuah karya, secara detail menjelaskan pemahamannya kepada hadirin yang datang. Bagi Tikwan karya Ali Yusran Datuk Majoindo yang lebih dikenal dengan nama pena A. Yusran ini merupakan sebuah tawaran untuk menemukan “jalan pulang”. 


Memang, katanya kemudian, karya Pak Datuk tidak dimaksudkan tidak untuk semua kalangan. Apalagi untuk generasi milenial yang kurang membaca.   


“Cerpen-cerpen Datuk ini sedikit peminatnya. Karena untuk memahami jalan pikirannya harus banyak membaca. Dan tentu saja harga yang harus dibayar mahal oleh pengarang sendiri ialah dirinya kesepian, karena jalan pikirannya tidak banyak diminati dan dimengerti oleh banyak orang ketika ia hidup, tapi hanya sedikit orang. Begitulah nasib para pemikir biasanya. Ketika dia sudah tiada, suaranya akan lebih keras lantang dari dalam kuburannya,” katanya dengan penuh semangat berbicara di depan hadirin.  


Ia kembali melanjutkan pandangannya, “Datuk tidak sabar dalam menuliskan sebuah ide yang sangat besar hanya dalam wadah yang begitu kecil yakni cerpen. Mengapa tidak novel misalnya? Tapi ya begitulah Datuk. Baginya cerpen dan bentuk-bentuk karya tulis lainnya hanyalah wadah bukan tujuan. 


Datuk juga tidak pernah menulis hanya untuk keisengan. Tulisannya sangat determinatif, cerpen-cerpennya mengabaikan metode sastra kebanyakan, dan kita akan kesulitan jika memakai kaidah teori sastra. Karya ini memang determinatif. Beberapa cerpennya yang sangat dekat dengan gagasan feminisme misalnya, didasarkan melalui dua aspek mendasar yakni kekuasaan dan kenyataan. Dia tidak akan bicara sebuah perlawanan dalam teks, tanpa melihat dua kutup kekuasaan yang bertolak belakang. Secara keseluruhan karya A. Yusran sangat kental dengan paham eksistensialis yang bercorak Timur bukan Barat. Kesemua cerpen hampir rata melabrak batas-bata. Di awal kita kenali cara berpikirnya seperti A misalnya, namun ternyata tidak A, ya ternyata tidak demikian. Karya-karya Datuk berbau tasawuf dengan maqom (tingkatan) yang tinggi,” katanya lagi. 


Pengarang yang terlahir dengan nama Ali Yusran bergelar Datuk Majoindo, kelahiran Bukittinggi, 19 Januari 1940 dan wafat di Medan pada tanggal 30 Maret 2021, meninggalkan lima orang anak dan delapan cucu.  


Zulkifli, anak laki-laki tertuanya dalam sambutan yang penuh haru, mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu terlaksananya acara peluncuran dan bedah buku kumcer Siksa Dosa di Ujung Usia karya orang tuanya. 


“Saya sangat bangga menjadi anak biologis bapak saya, dan masih terus belajar memahami cara bapak saya berpikir. Di mana dalam kenyataan setiap harinya kami tahu bahwa bapak kami itu memang berbeda dari kebanyakan bapak-bapak orang. Dia memang saya akui, gemar berpikir mendalam, pikirannya jernih, tidak terkesan dilandasi kepentingan pribadi, hatinya tulus. Dari penjelasan narasumber dan tanggapan hadirin, saya semakin banyak mengerti jalan pikiran bapak saya selama ini. Sejauh ini ibu sambung sayalah yang saya anggap bisa menerjemahkan pikiran-pikiran bapak saya,” katanya. 


Aishah Bashar, salah seorang sahabat dekat almarhum yang berprofesi sebagai guru dan kepala sekolah di SMAN I Barus, Tapanuli Tengah mengungkapkan, baginya Ali Yusran tidak saja sebagai kawan dalam dunia sastra tapi lebih dari itu. 


“Ali Yusran atau Datuk adalah seorang ayah bagi kami. Ia tempat kami berkeluh kesah dan selalu menerima kami dalam kondisi apa saja. Pikiran-pikirannya luas, orangnya ramah dan sangat cerdas serta begitu peduli. Tenanglah di sana ya Datuk, kami semua menyayangimu,” kata Aishah dengan suara serak menahan air matanya agar tak tumpah. 


Ali Yusran banyak meninggalkan karya tulis. Buku kumpulan cerita pendek ini adalah buku keduanya. Buku pertamanya terangkum dalam buku puisi berjudul Petapa Akhir Abad, Kumpulan 77 puisi yang diluncurkan pada tahun 2016 lalu. Ke depan kumpulan essai kebudayaan dan novel direncanakan untuk diterbitkan. Peluncuran cerpen berjudul Siksa Dosa di Ujung Usia ini dilakukan dalam rangka mengenang setahun kepergian A. Yusran sebagai salah satu pengarang di Sumatera Utara yang juga mengabdikan dirinya bagi gerakan sosial pro demokrasi. 


“Semoga karya-karya karya A. Yusran bisa menyemarakkan dunia sastra dan mendorong berkembangnya gerakan literasi di Sumut dan Indonesia,” harap Dini Usman penuh semangat. 


Bila ada yang berminat membaca buku karya A. Yusran bisa dipesan langsung pada penerbit Swarnadwipa melalui email penerbitswarnadwipa@gmail.com sebagai salah satu penerbit indie di Sumatera Utara.(JN)

            

     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lebih baru Lebih lama