PLTA Batang Toru Dibangun Dengan Biaya 1,6 Miliar Dolar Hasilkan Daya 510 MW Selesai 2022




MEDAN
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan berkapasitas 510 MW yang akan dibangun ramah lingkungan, ditargetkan selesai 2022. Akan memberikan tiga manfaat besar sekaligus dari sisi energi listrik, ekonomi, dan lingkungan.

PLTA Batang Toru dibangun permanen di lahan seluas 122 ha, menjadi salah satu program strategis nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW di Indonesia. PLTA Batang Toru merupakan  pembangkit energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Pemaparan PLTA Batang Toru itu disampaikan dalam “Media Briefing” di Medan, Jumat (22/2), sebagai pembicara Firman Taufick, Senior Executive for External Relations PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Dr Agus Djoko Ismanto PhD, Senior Advisor Lingkungan PT NSHE, dan Wanda Kuswanda SHut MSc, ahli peneliti utama di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli dan David Silaban Manager Independen Power Prosedur dan Excesspower PLN UIW Sumut.

Firman Taufick mengatakan Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berupa panas matahari, air, angin, bioenergi, dan panas bumi. Potenisi sumber energi dari air mencapai 75 ribu MW di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan bauran dari energi terbarukan dapat mencapai 23% dari total sumber energi pada 2030.

Kehadiran PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) pada saat beban puncak di Sumut. Pilihan pada PLTA karena lebih bersih dan lebih berkesinambungan.

Dari sisi energi, PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang memakai energi fosill pada saat beban puncak di Sumut. Dari sisi ekonomi, dengan memakai sumber energi air maka pemerintah bisa menghemat pengeluaran devisa hingga US$ 400 juta per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil.

Agus Djoko Ismanto (Adji) mengatakan kawasan pembangunan PLTA Batang Toru berstatus APL, bukan hutan primer. Hal ini dapat dilihat dari vegetasi yang tumbuh di lokasi didominasi pohon karet dan jenis-jenis pohon perkebunan lainnya.

“Selain memenuhi AMDAL, kami telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang menjadikan kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle,” kata Adji.

Wanda Kuswanda, yang telah melakukan riset orangutan di Batang Toru selama 15 tahun, mengatakan hasil penelitiannya menunjukkan APL kawasan Batang Toru bukan merupakan habitat utama orangutan.

Orangutan yang ada disana, hanya menjauhi (migrasi) dari sekitar pembangunan PLTA Batang Toru dan sejauh ini belum ada orangutan yang mati, kata Wanda.

Menurut Adji, PLTA Batang Toru dibangun dengan biaya 1,6 miliar dolar US (sekitar Rp20 triliun), untuk kepentingan masa depan dan anak cucu. Dalam investasi ini perusahaan tidak berspekulasi, setelah 30 tahun asetnya jadi milik pemerintah. Sampai sekarang tidak ada kendala pembangunan PLTA ini, pekerjanya mayoritas penduduk sekitar (lokal) dengan jumlah saat pekerjaan puncak nanti 1.800 orang.
         
Pekerjaan normal saja, sesuai skedul. Kalaupun ada yang menolak, mesti dipelajari apa sih alasannya. Kami terbuka, kepada siapapun. Masyarakat setempat justru berharap proyek ini cepat selesai,katanya. (Dame)
Teks foto : David Silaban Manager Independen Power Prosedur dan Excesspower PLN UIW Sumut pada saat acara Media Briefing.

Lebih baru Lebih lama